Lanjut ke konten

IKUT BERPARTISIPASI MEMBENAHI NEGARA (MELAWAN FATWA YANG MENYESATKAN)

29 Februari 2012

Sahabat Hikmah…
Saya prihatin dengan sebagian saudara kita yang membid’ahkan (menyesatkan) serta menyerukan untuk menjauhi pemerintahan dan parlemen.

Mereka beranggapan demokrasi adalah produk barat dan bertentangan dengan Islam, bahkan sebagian menganggap musyrik hukumnya karena sudah membuat aturan dan undang-undang (padahal itu hak Allah)

Sahabat Hikmah…
Orang yang menyeru orang muslim menjauhi parlemen dan pemerintahan adalah bagian dari propaganda musuh-musah Islam. Apa bedanya mereka dengan Snouq Horgronye?

Demokrasi, terlepas dari definisi akademis, adalah wadah masyarakat utk memilih seseorang mengurus dan mengatur urusan mereka dari orang yg bukan mereka benci.

“Sebaik-baik pemimpin adalah org yg mencintai kamu dan kamu mencintainya..” (HR Imam Muslim)

Islam dan demokrasi memang berbeda, tapi bukan berarti tanpa persamaan.

1. Jika yang dimaksud demokrasi: dari rakyat untuk rakyat, pengertian itupun ada di dalam sistem negara Islam dengan syarat rakyat harus paham Islam secara komprehensif.

2. Jika yang dimaksud demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial (misal persamaan di hadpaan UU, kebebasan berpikir, realisasi keadilan sosial, jaminan hak-hak tertentu) maka semua itu juga dijamin dalam Islam.

3. Jika yang dimaksud demokrasi adalah sistem pemisahan kekuasaan (legistatif = ahli syura, eksekutif = imam/khilafah, yudikatif = pembuat UU berdasar Al-Quran) maka itupun sudah ada dalam Islam.

Dengan menganggap parlemen yang sekuler, apakah jika ikut disebut sebagai pengakuan terhadap kesekuleran ? Bukankah amal itu bergantung niatnya bukan ? Justru kesekuleran mereka menjadi hujjah keberadaan da’i di parlemen utk mengurangi kezaliman mereka dan menjadi pengimbang kekuatan kuffar, jadi bukan lari yang menyebabkan ummat Islam tidak memiliki wakil dan tidak bisa menyalurkan aspirasinya. Apakah mau urusan ummat Islam diatur oleh musuh-musah Islam ?

Saat ini kita harus memahami realitas (fiqhul waqi’) . Realitas yang dibenturkan dengan idealisme. Jangan hanya sibuk dengan idealisme kita tanpa menyadari realitas bahwa parlemen yg buruk itu hanya bisa diubah dengan memasukinya.

Pendapat Para Ulama:

#1 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau berkata, “Jika ia berusaha berbuat adil dan menyingkirkan kezaliman menurut kesanggupannya dan kekuasaan itu mendatangkan kebaikan dan mashlahat bagi orang-orang muslim daripada dipegang orang lain, ia diperbolehkan memegang kekuasaan itu dan ia tidak berdosa karenanya.”

Beliau melanjutkan, “Jika ada yg berkata, ‘Engkau tidak boleh terlibat dalam kekuasaan itu dan engkau harus angkat kaki darinya’ — padahal jika ditinggalkan akan diambil orang lain dan kezaliman semakin menjadi-jadi — berarti orang yg berkata seperti itu adalah orang yg bodoh dan tidak bisa membaca keadaan (fiqhul waqi’) dan hakikat agama”

#2 Syaikh Utsaimin
Beliau berfatwa mengenai keharusan mengikuti pemilu, ketika ditanya mengenai hukum pemilu di Kuwait yang mayoritas para aktivis dan da’i ikut berpartisipasi, hingga mereka terfitnah agamanya.

Syeikh Utsaimin menjawab, “Saya berpendapat bahwa sesungguhnya pemilu itu wajib, kita wajib menunjuk siapa yang kita lihat ada kebaikan padanya, karena jika orang-orang baik mundur, siapa yang menggantikan posisi mereka? Orang-orang buruk (ahlu syarr) atau manusia pasif yang bukan baik maupun buruk, mengikuti setiap “penggembala”, maka kita harus memilih siapa yang kita pandang layak.”

Beliau melanjutkan, “Jika ada yang mengatakan, ’Kita memilih satu namun mayoritas majelis berlawanan dengannya.’ Kita mengatakan, ‘Tidak apa-apa, satu orang ini, jika Allah memberkahinya dan ia mengucapkan kalimat haq dalam majelis tersebut, maka hal itu bisa mempengaruhi, dan itu pasti.”

Kemudian Syeikh Utsmain mencontohkan bagaimana Musa Alaihissalam yang berhadapan dengan para penyihir Fir’aun, dan Musa mengatakan, ”Celakalah kalian, janganlah kalian mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, nanti Dia membinasakan kalian dengan adzab. Dan sesungguhnya rugilah orang-orang yang mengadakan kebohongan. (Thaha: 61) Satu ucapan, dampaknya seperti bom.

Dampak dari perkataan Musa tersebut, “Maka mereka berbantah-bantahan tentang urusan mereka.” (Thaha: 62) Jika manusia berbantah-bantahan maka mereka gentar, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, yang artinya,”Janganlah kalian berselisih, yang menyebabkan kalian menjadi gentar.” (Al Anfal: 46)

Hasilnya, para penyihir yang datang untuk melawan Musa menjadi berbalik mengikutinya. Mereka akhirnya bersujud dan menyatakan, ”Kami telah beriman terhadap Rabb Harun dan Musa” (Thaha:70), sedangkan Fir’aun di hadapan mereka.

Kemudian Syeikh Ustmaimin menyebutkan, ”Walau diharuskan dalam majelis parlemen dibatasi hanya sedikit dari ahlul haq, maka mereka akan memperoleh manfaat, akan tetapi mereka handaknya yakin terhadap Allah Azza wa Jalla.”

Beliau melanjutkan, “Adapun perkataan,’Sesungguhnya parlemen dilarang dan tidak boleh ikut serta dengan orang-orang fasiq, tidak boleh duduk bersama mereka.’ Apakah kita mengatakan, ‘Duduk untuk menyetujui mereka?’ Kita duduk bersama mereka untuk menerangkan kepada mereka hal yang benar.”

Mantan Mufti Saudi ini juga menyatakan, “Sebagian saudara dari ahlul ilmi mengatakan,’Tidak boleh ikut serta karena seorang yang lurus harus duduk bersama orang yang menyimpang.’ Apakah orang lurus ini duduk agar ia menyimpang atau meluruskan yang bengkok? Ya, untuk meluruskan yang bengkok dan menghindar darinya. Jika tidak berhasil di satu kesempatan, di kesempatan lainnya akan berhasil.”

(Fatwa ini dinukil oleh Mahmud Amir dari kaset rekaman Syeikh Ustaimin yang berjudul Liqa’ Al Bab Al Maftuh, no. 211.*)

Mereka yang berjuang diluar sistem pemerintahan memiliki hujjah, mereka yg berjuang di dalam sistem pun memiliki hujjah. Tetapi menurut saya lebih tepat dan sependapat dengan pendapat Syaikh Utsaimin tersebut. Karena mereka yang mendengungkan kekhilafahan sebenarnya tidak bisa banyak berbuat kecuali masuk dan memperbaiki pemerintahan yang ada atau melakukan kudeta/revolusi.

Tahapan yang harus diikuti dan ini suatu keniscayaan adalah:
1. Islahun nafs, yaitu melakukan perbaikan individu-individu
2. Bina’ul baiti Muslim, yaitu pembentukan keluarga Muslim
3. Bimbingan masyarakat, yakni dengan menyebarkan dakwah di tengah masyarakat secara komprehensif.
4. Pembebasan tanah air dari setiap penguasa asing – non Islam – baik secara politik, ekonomi, maupun moral
5. Memperbaiki keadaan pemerintah sehingga mejadi pemerintahan Islam yang baik, dan sekarang tahapan ini saya lihat sedang dilakukan oleh sebagian partai Islam.
6. Kekhilafahan, yaitu usaha mempersiapakan seluruh asset negeri di dunia ini untuk kemaslahatan Islam dengan membentuk khilafah islaamiyah.
7. Ustadziatul ‘Alam, yaitu penegakkan kepemimpinan dunia dengan penyebaran dakwah Islam Rahmatan lil ‘Aalamiin ke seantero dunia.

Saudara kita dari Salafi Mesir dan Yaman sudah mengetahui HIKMAH ini. Semoga Salafi Indonesia menyusul agar GERBONG KEBAIKAN di pemerintah dan parlemen semakin besar.

Allah hanya akan memberikan HIKMAH kepada siapa yang dikehendakinya..

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”
(QS Al-Baqarah:269)

Wallahu a’lam bishowab

OFA

No comments yet

Tinggalkan komentar

"KATA-KATA HIKMAH" Ogy Febri Adlha (OFA)

"Allah menganugerahkan HIKMAH kepada SIAPA yang DIKEHENDAKI-Nya. Dan barang siapa yang DIANUGERAHI HIKMAH, ia benar-benar telah DIANUGERAHI KARUNIA yang BANYAK." (QS Al-Baqarah : 269)

Didi Sederhana

Belajar hidup SEDERHANA, karena menjadi sederhana perlu banyak belajar